Payakumbuh, SUMATRALINE — Dengan mengagendakan untuk monitoring evaluasi (monev) tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO), tim dari kementrian Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Republik Indonesia lakukan kunjungan ke Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB), kota Payakumbuh, Kamis (20/5/2021).

Kehadiran rombongan sebanyak 14 orang dari kementrian koordinator bersama tim dari provinsi Sumatra Barat tersebut sebelumnya sudah disampaikan melalui surat dengan nomor 1029/D-IV/PPA 02.01/05/2021 tertanggal 17 Mei 2021. Kedatangan tim monev kementrian koordinator disambut oleh kepala Dinas P3AP2KB bersama jajaran di aula kantor DP3AP2KB yang juga turut didampingi wakil ketua TP-PKK Maghdalena, kepala dinas sosial Erwan, sekretaris Dinas Komunikasi dan Informasi Dasril, serta organisasi perempuan P2TP2A kota Payakumbuh.

Menurut keterangan sekretaris DP3A&P2KB, Ipendi menjelaskan bahwa tujuan monev tim ini adalah untuk melakukan klarifikasi dugaan tindak pidana perdagangan orang yang terjadi di salah satu perusahaan di Jepang, dimana terdapat salah seorang mahasiswa magang yang ditempatkan di perusahaan tersebut oleh kampus Negeri Di wilayah luak limopuluah. Hanya saja kampus dimaksud terdapat nama Payakumbuh didalamnya, sementara kampus tersebut tidak berada di Kota Payakumbuh. Untuk itu, tim tersebut melaksanakan klarifikasi terhadap masalah ini ke Kota Payakumbuh, namun kegiatan ini juga sekaligus untuk monitoring kegiatan perlindungan perempuan dan anak di Kota Payakumbuh.

Lebih lanjut, Kepala Dinas P3AP2KB kota Payakumbuh yang diwakili sekretaris Ipendi diawal sambutannya langsung memaparkan kepada rombongan tim monev bahwa kota Payakumbuh dalam persoalan perlindungan perempuan dan anak saat ini terdapat masalah pernikahan anak di bawah umur.

“Selama tahun 2020 kemaren kasus dalam pernikahan anak di bawah umur hanya terjadi sebanyak 3 kasus, akan tetapi diawal kuartal tahun 2021 ini mengalami peningkatan yakni terhitung dari Januari sampai bulan April 2021 telah terjadi pernikahan anak di bawah umur sebanyak 6 kasus di kota Payakumbuh”, ungkap Ipendi.

Naiknya kasus pernikahan anak di bawah umur yang terjadi diawal tahun 2021 di kota Payakumbuh, menurut Ipendi karena faktor pergaulan bebas, ekonomi dan juga atas kemauan anak itu sendiri.

“Dan untuk menekan angka kasus tersebut, kami telah melakukan upaya pencegahan dengan sering melakukan sosialisasi ke setiap sekolah SMP dan SMA, keseluruh kecamatan dan kelurahan, melalui penyebaran informasi Media sosial serta kami juga telah lakukan kerjasama dengan lembaga masyarakat”, ungkap Ipendi kembali.

Dan setelah mendengar apa yang disampaikan oleh sekretaris Dinas P3AP2KB kota Payakumbuh tersebut, asisten deputi pekerja dan TPPO Kementrian Koordinator PPA, Rafail mengatakan bahwa perkawinan terhadap anak di bawah umur memiliki berbagai dampak negatif yang tidak hanya merugikan anak, maupun keluarga, tapi secara keseluruhan juga merugikan negara. 

“Dampak negatif dari perkawinan anak inilah yang perlu terus-menerus kita sampaikan kepada masyarakat, baik kepada keluarga, anak, maupun semua pihak terkait”, ucap Rafail.

Adapun berbagai dampak negatif dari perkawinan anak, yaitu meningkatnya angka anak putus sekolah akibat menikah, tingginya angka stunting, angka kematian bayi, angka kematian ibu, meningkatnya pekerja anak, adanya upah rendah, sehingga menimbulkan kemiskinan.

“Belum lagi dampak perkawinan anak lainnya seperti tingginya KDRT, kekerasan terhadap anak, terganggunya kesehatan mental anak dan ibu, munculnya pola asuh yang salah pada anak, hingga identitas anak yang tidak tercatat karena tidak memiliki akta kelahiran, sehingga memunculkan risiko terburuk yaitu terjadinya perdagangan orang,” tambah Rafail.

Masalah perkawinan anak merupakan masalah kritis mengingat masih banyak daerah di Indonesia yang memiliki angka perkawinan anak cukup tinggi. Pada 2019, diketahui ada sebanyak 22 provinsi yang memiliki angka perkawinan anak di atas rata-rata angka nasional yaitu 10,82%. Dari 2019 hingga 2020, telah terjadi penurunan angka perkawinan anak sebanyak 0,6%, dan diharapkan dapat terus menurun hingga 8,74% pada 2024.

“Untuk itu, sangat diperlukan upaya untuk menurunkan angka ini secara drastis bahkan menghapuskannya, sehingga Indonesia dapat menjadi negara tanpa perkawinan anak di bawah umur,” terang Rafail.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Top