MOGOK KERJA DAN PENUTUPAN PERUSAHAAN (LOCK-OUT) DALAM PERSPEKTIF HUKUM

Oleh : Desman Ramadhan, SH
Ketua Bidang Hubungan Industrial DPP APINDO Sumatera Barat


Bahwa pasca Dewan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)  Republik Indonesia telah menyetujui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undan Nomor 2 Tahun 2022  untuk ditetapkan menjadi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang yang ditetapkan pada tanggal 31 Maret 2023 yang juga telah diundangkan pada tanggal 31 Maret 2023, yang mana Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 mencabut mencabut berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Bahwa Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 ditetapkan sekaligus untuk melaksanakan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIIl/2020, dalam rangka perbaikan melalui penggantian terhadap UndangUndang Nomor 11 Tahun 2O2O tentang Cipta Kerja.

Dalam rangka penguatan perlindungan kepada tenaga kerja dan meningkatkan peran dan kesejahteraan pekerja/buruh dalam mendukung ekosistem investasi, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini mengubah, menghapus, atau menetapkan pengaturan baru beberapa ketentuan yang diatur dalam salah satunya termasuk Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 20O3 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 42791.

Bahwa jika dicermati Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang, hal yang berkaitan dengan Mogok Kerja dan Penutupan Perusahaan (Lock Out) ternyata tidak perubahan, menghapus, atau menetapkan aturan baru, dengan arti kata secara hukum tetap merujuk pada Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketanagakerjaan pasal 1 ayat 23, pasal 1 ayat (24), pasal 142 sampai 149 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003;
 
Bahwa Mogok kerja merupakan hak dasar yang dimiliki setiap pekerja, sedang penutupan perusahaan (lock-out) merupakan hak dasar pengusaha untuk menolak pekerja/buruh sebagian atau seluruhnya untuk menjalankan pekerjaan sebagai akibat gagalnya perundingan,  Akan tetapi, mogok kerja penutupan perusahaan (lock-out) juga mempunyai aturan dan ketentuan tersendiri sesuai dengan Undang-Undang Tenaga Kerja. Lalu ketentuan apa saja yang membuat mogok kerja dan penutupan perusahaan (lock-out) sah atau tidak sah?;

MOGOK KERJA

Bahwa definisi Mogok Kerja sebagaimana dimaksud Pasal 1 angka 23 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, memberikan definisi sebagai berikut : “Mogok kerja adalah tindakan pekerja yang direncanakan dan dilaksanakan secara bersama-sama dan/atau oleh serikat pekerja untuk menghentikan atau memperlambat pekerjaan”

Arti definisi diatas adalah :
Sebuah tindakan dapat disebut sebagai mogok kerja apabila dilakukan oleh pekerja. Mogok kerja tidak bisa dilakukan oleh ibu rumah tangga atau mahasiswa, hanya bisa dilakukan oleh pekerja. Mogok kerja harus direncanakan dan dilaksanakan secara bersama-sama, dilakukan oleh lebih dari 1 pekerja. Tujuan mogok kerja adalah untuk memaksa perusahaan/majikan mendengarkan dan  menerima tuntutan pekerja dan/atau serikat pekerja, caranya adalah dengan  membuat perusahaan merasakan akibat dari proses produksi yang terhenti atau melambat.

Bahwa Permasalahan mogok kerja memang sangat kompleks, untuk masalah mogok kerja ini diatur khusus pada pasal 137 sampai pasal 145 dalam Undang-Undang Nomor  13/2003 tentang Ketenagakerjaan. Lebih lanjut mengenai peraturan pelaksanaan mogok kerja diatur oleh Kepmenakertrans No. 232/MEN/2003 tentang Akibat Hukum Mogok Kerja Yang Tidak Sah.

Dalam pasal 137 Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, disebutkan bahwa “mogok kerja harus dilakukan secara sah, tertib dan damai sebagai akibat dari gagalnya perundingan”.
“Sah” disini artinya adalah mengikuti procedural yang diatur oleh Undang-Undang. “Tertib dan damai“sebagai akibat dari gagalnya perundingan”

Bahwa pasal 138 ayat (1) Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, menyebutkan : “Pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat buruh yang bermaksud mengajak pekerja/buruh lain untuk mogok kerja pada saat mogok kerja berlangsung dilakukan dengan tidak melanggar hukum”, sedang pada 138 ayat (2) Undang-Undang No. 13 tahun 2003  :”Pejerja/buruh yang diajak mogok kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat memenuhi atau tidak memenuhi ajakan tersebut. Bahwa pelaksanaan Mogok kerja bagi pekerja/buruh yang bekerja pada perusahaan yang melayani kepentingan umum dan/atau perusahaan yang jenis kegiatannya membahayakan keselamatan jiwa manusia diatur sedemikian rupa sehingga tidak melanggar kepentingan umum dan/atau membahayakan keselamatan orang lain (Vide Pasal 139 Undang-Undang No. 13 tahun 2003).

Apabila mogok kerja dilakukan secara tidak sah pada perusahan yang melayani kepentingan umum atau perusahaan yang jenis kegiatannya berhubungan dengan keselamatan jiwa manusia dan mengakibatkan hilangnya nyawa manusia yang berhubungan dengan pekerjaannya dikualifikasikan sebagai kesalahan berat.

Bahwa pengertiann “Akibat gagal perundingan” disini artinya adalah : Upaya perundingan yang dilakukan menemui jalan buntu dan gagal mencapai kesepakatan atau Perusahaan menolak untuk melakukan perundingan walaupun serikat pekerja atau pekerja telah meminta secara tertulis kepada pengusaha 2 kali dalam tenggang waktu 14 hari. Syarat administratif yang harus dipenuhi agar mogok kerja dikatakan sah adalah :
1. Pekerja atau Serikat Pekerja wajib memberitahukan secara tertulis kepada perusahaan/pengusaha dan Disnaker, 7 hari kerja sebelum mogok kerja dijalankan.
2. Dalam surat pemberitahuan tersebut, harus memuat :
Waktu (hari, tanggal dan jam) dimulai dan diakhiri mogok kerja
Tempat mogok kerja
Alasan dan sebab mengapa harus melakukan mogok kerja
Tanda tangan ketua dan sekretaris serikat pekerja sebagai penanggung jawab mogok kerja. Apabila mogok kerja akan dilakukan oleh pekerja yang tidak menjadi anggota serikat pekerja, maka pemberitahuan ditandatangani oleh perwakilan pekerja yang ditunjuk sebagai koordinator dan/atau penanggung jawab mogok kerja

Bahwa Instansi pemerintahan dan pihak perusahaan yang menerima surat pemberitahuan mogok kerja wajib memberikan tanda terima. Sebelum dan selama mogok kerja berlangsung, instansi yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan  wajib menyelesaikan masalah yang menyebabkan timbulnya pemogokan dengan mempertemukan dan merundingkanya dengan para pihak yang berselisih

Bahwa jika perundingan tersebut menghasilkan kesepakatan, maka harus dibuatkan perjanjian bersama yang ditanda-tangani oleh para pihak dan pegawai yang bertanggung jawab dibidang ketenaga kerjaan sebagai saksi. Dan jika dalam perundingan tersebut tidak menghasilkan kesepakatan, maka pegawai dan instansi yang bertanggung jawab dibidang ketenaga kerjaan harus menyerahkan masalah yang menyebabkan terjadinya mogok kerja kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang berwenang.

Bahwa siapapun tidak dapat menghalangi-halangi pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh untuk menggunakan hak mogok kerja yang dilakukan secara sah, tertib dan damai. Dan Juga siapapun dilarang melakukan penangkapan da/atau penahanan terhadap pekerja/buruh dan pengurus serikat pekerja/serikat buruh yang melakukan mogok kerja secara sah, tertib, dan damai sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Vide pasal 143  Undang-Undang No. 13 tahun 2003).
 
Bahwa terhadap mogok kerja yang dilakukan sesuai dengan ketentuan, pengusaha dilarang :
a. Mengganti pekerja/buruh yang mogok kerja dengan pekerja/buruh lain dari luar perusahaan; atau
b. Memberikan sanksi atau tindakan balasan dalam bentuk apapun kepada pekerja/buruh dan pengurus serikat pekerja/serikat buruh selama dan sesudah melakukan mogok kerja.


AKIBAT HUKUM MOGOK KERJA YANG TIDAK SAH

Bahwa menurut pasal 142  Undang-Undang No. 13 tahun 2003, dinyatakan bahwa apabila mogok kerja yang tidak memenuhi persyaratan mogok kerja seperti yang diuraikan diatas, maka mogok kerja tersebut tidak sah. Pada pasal 6 dan 7 Kepmenakertrans No.232/MEN/2003 tentang akibat mogok kerja yang tidak sah, 

Mogok kerja tidak sah apabila dilakukan : 
a. bukan akibat gagalnya perundingan; dan/atau 
b. tanpa pemberitahuan kepada pengusaha dan instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan; dan/atau 
c. dengan pemberitahuan kurang dari 7 (tujuh) hari sebelum pelaksanaan mogok kerja; dan/atau 
d. isi pemberitahuan tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 140 ayat (2) huruf a, b, c, dan d Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. 

Bahwa mogok kerja yang dilakukan secara tidak sah dikualifikasikan sebagai mangkir. Pemanggilan untuk kembali bekerja bagi pelaku mogok tidak sah dilakukan oleh pengusaha 2 kali berturut-turut dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari dalam bentuk pemanggilan secara patut dan tertulis. Pekerja yang tidak memenuhi panggilan perusahaan untuk kembali bekerja dianggap mengundurkan diri.

Pekerja yang melakukan mogok secara sah tetap berhak mendapat upah. Lain halnya dengan pekerja yang melakukan mogok secara tidak sah, mereka tidak berhak mendapat upah.


PENUTUPAN PERUSAHAAN (LOK-OUT)

Bahwa Pemberi kerja (Pengusaha) yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban para pihak. Apabila dilihat dari sisi pengusaha, penutupan perusahaan (lock-out) merupakan hak dasar pengusaha untuk menolak pekerja/buruh sebagian atau seluruhnya untuk menjalankan pekerjaan sebagai akibat gagalnya perundingan. Namun, pengusaha tidak dibenarkan melakukan penutupan perusahaan (lock-out) sebagai tindakan balasan sehubungan adanya tuntutan normatif dari pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat buruh. Pasal 1 angka 24 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”) mendefinisikan penutupan perusahaan (lock out) sebagai tindakan pengusaha untuk menolak pekerja/buruh seluruhnya atau sebagian untuk menjalankan pekerjaan.
Penutupan perusahaan (lock out) dilarang dilakukan pada perusahaan-perusahaan yang melayani kepentingan umum dan/atau jenis kegiatan yang membahayakan keselamatan jiwa manusia, meliputi rumah sakit, pelayanan jaringan air bersih, pusat pengendali telekomunikasi, pusat penyedia tenaga listrik, pengolahan minyak dan gas bumi serta kereta api.
Tindakan penutupan perusahaan (lock-out) harus dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Pengusaha yang akan melakukan penutupan perusahaan wajib memberitahukan secara tertulis kepada pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat buruh, serta instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat sekurang-kurangnya 7 (tujuh) hari kerja sebelum dilaksanakannya penutupan perusahaan (lock out). Pemberitahuan tersebut sekurang-kurangnya memuat:
1. waktu (hari, tanggal dan jam) dimulai dan diakhiri penutupan perusahaan (lock out); dan
2. alasan dan sebab-sebab melakukan penutupan perusahaan (lock out).
Pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh dan instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan yang menerima secara langsung surat pemberitahuan penutupan perusahaan (lock out) harus memberikan tanda bukti penerimaan dengan mencantumkan hari, tanggal dan jam penerimaan surat pemberitahuan.
Sebelum dan selama penutupan perusahaan (lock out) berlangsung, instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan berwenang langsung menyelesaikan masalah yang menyebabkan timbulnya penutupan perusahaan (lockout) dengan jalan mempertemukan dan merundingkan permasalahan yang terjadi dengan para pihak yang berselisih. Apabila perundingan di antara pihak yang berselisih menghasilkan kesepakatan, maka harus dibuat perjanjian bersama yang ditandatangani oleh pihak dan pegawai dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan sebagai saksi. Apabila perundingan di antara pihak yang berselisih tidak menghasilkan kesepakatan, maka pegawai dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan segera menyerahkan masalah yang menyebabkan terjadinya penutupan perusahaan (lock out) kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
 Pemberitahuan penutupan perusahaan (lock out) tidak perlu dilakukan oleh pengusaha apabila:
1. pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh melanggar prosedur mogok kerja sebagaimana di atur dalam UU Ketenagakerjaan;
2. pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh melanggar ketentuan normatif yang ditentukan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, atau peraturan perundang-undangan yang berlaku.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Top