Padang – Siang itu, Selasa 23 September 2025, di bawah terik matahari yang menyapu Jalan Raya Nanggalo, langkah senyap aparat Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Sumatera Barat berujung pada sebuah penangkapan yang mencengangkan. Dua pria paruh baya, D.W. (53) dan B. (50), tak berkutik saat mobil Daihatsu Grandmax yang mereka gunakan diberhentikan petugas. Dari kendaraan sederhana itu, terkuak barang bukti yang beratnya bukan sekadar angka: 24,177 kilogram sisik trenggiling—fragmen rapuh dari satwa yang sedang berjuang melawan kepunahan.

Konferensi pers yang digelar dua hari kemudian di Ruang Soekamto, lantai IV Mapolda Sumbar, menegaskan betapa kasus ini bukan hanya tindak pidana, melainkan tragedi ekologi. Dirreskrimsus Polda Sumbar, Kombes Pol Andi Kurniawan, berdiri mewakili Kapolda Irjen Pol Gatot Tri Suryanta. Dengan nada tegas, ia menyebut pengungkapan ini sebagai salah satu capaian terbesar dalam gelaran Operasi Thunder 2025.

“Trenggiling adalah makhluk yang terancam punah. Perdagangan sisiknya bukan hanya melanggar hukum, tetapi juga merusak keseimbangan ekosistem. Ini bukti keseriusan kami memberantas kejahatan lingkungan,” ujar Andi, suaranya bergaung di hadapan para jurnalis.

Dari hasil penyidikan, terkuaklah sebuah rantai perdagangan yang berjalan senyap namun sistematis. D.W., sang pengumpul, membeli sisik dari sejumlah petani di Bukit Gado-gado, Padang, hingga Lubuk Alung, Padang Pariaman. Harga yang ia tawarkan tak sebanding dengan nyawa trenggiling: Rp300 ribu per kilogram. Barang itu lalu ia jual kepada B. seharga Rp1,3 juta. B., si pencari pembeli, melipatgandakan harga hingga Rp2,8 juta per kilogram. Jejak penjualannya bahkan menyeberang hingga ke Jambi.

“Dua tersangka ini saling melengkapi perannya. Yang satu mengumpulkan, yang lain mengedarkan. Kini keduanya telah ditahan untuk proses hukum,” jelas Andi.

Namun, bagi kepolisian, perkara ini lebih dari sekadar angka rupiah atau hitungan pasal. Trenggiling—dikenal sebagai pemakan semut yang tak kenal lelah—adalah penyeimbang alami ekosistem. Hilangnya mereka berarti ledakan populasi serangga, lalu berlanjut pada kerusakan rantai kehidupan lain.

“Jika perburuan dibiarkan, kita tidak hanya kehilangan satwa, tetapi juga keseimbangan lingkungan. Inilah alasan kami menindak, sekaligus mencegah,” imbuh Andi.

Atas perbuatannya, kedua tersangka dijerat Pasal 40A ayat (1) huruf f jo Pasal 21 ayat (2) huruf c UU No. 32 Tahun 2024 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, dengan ancaman 3–15 tahun penjara serta denda hingga kategori VII.

Di ujung konferensi, Kabid Humas Polda Sumbar, Kombes Pol Susmelawati Rosya, menegaskan bahwa operasi ini bukan hanya catatan hukum, melainkan juga pesan moral.

“Ini adalah ajakan agar masyarakat tak lagi tergoda pada perburuan satwa dilindungi. Mari kita jaga hutan, jaga satwa, jaga kehidupan. Karena saat kita menyelamatkan trenggiling, sesungguhnya kita sedang menyelamatkan diri kita sendiri,” katanya.

Penangkapan di Nanggalo itu pun menegaskan satu hal: di balik sisik-sisik kecil yang tampak tak berharga, tersimpan cerita besar tentang kelestarian bumi. Dan pada hari itu, Sumatera Barat memilih berpihak pada kehidupan.
(*)

0 komentar:

Posting Komentar

 
Top