Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

‎Titian Asa di Tengah Deru Sirene: Padang Menggugat Ketakutan Tsunami ‎ ‎

 

‎Rabu pagi, 5 November 2025, Padang diusik oleh simfoni darurat yang menusuk langit. Bukan ancaman sungguhan, namun suara sirene yang menggema dari pantai hingga punggung perbukitan adalah panggilan sakral: panggilan kesiapsiagaan. Dalam sekejap, ribuan siluet manusia bergerak cepat, beriringan menuju titik-titik evakuasi, sebuah tarian kolektif yang melibatkan lebih dari 200.000 jiwa dari delapan kecamatan. Kota ini, yang bersemayam di atas cincin api dan senantiasa berhadapan dengan potensi murka lautan, tengah menggelar Tsunami Drill sebuah simulasi akbar, uji nyali bagi ketangguhan peradaban.
‎Di jantung hiruk-pikuk skenario bencana tersebut, Dinas Sosial (Dinsos) Kota Padang menjelma menjadi garda terdepan kemanusiaan. Di bawah komando Kepala Dinas Sosial, Heriza Syafani, satuan elite Taruna Siaga Bencana (Tagana) diterjunkan. Mereka bukan sekadar penonton, melainkan tiang pancang yang memastikan kebutuhan dasar warga yang terevakuasi tak terabaikan.
‎“Simulasi ini adalah termometer sosial kita,” ujar Heriza Syafani, saat menjejakkan kaki di zona aman pelataran TVRI Sumatera Barat, Kecamatan Koto Tangah. “Kami mengukur sejauh mana kohesi antara pemerintah, relawan, dan masyarakat dalam situasi terjepit.”
‎Di sanalah, aroma kepedulian menguar seiring didirikannya dapur umum darurat. Bukan sekadar simbolis, dapur ini adalah laboratorium nyata yang disiapkan untuk menopang kebutuhan pangan dasar hingga 400 Kepala Keluarga. Heriza menegaskan, penanganan bencana tak berhenti pada evakuasi fisik, namun merangkul keberlanjutan hidup.
‎“Ketika mara bahaya berlalu, tantangan kemanusiaan justru dimulai. Makanan, air bersih, adalah urat nadi kehidupan pascabencana. Dinsos harus menjadi penopang pertama,” tegasnya lugas, seolah mematri janji di udara.
‎Tagana: Membawa Ketenangan di 9 Titik Episentrum Asa

‎Kesiapsiagaan Tagana tidak terpusat. Dengan kekuatan sekitar 10 personel di setiap lokasi, mereka menyebar di sembilan titik evakuasi seantero kota. Tugas mereka adalah menyalurkan logistik, namun yang lebih esensial, mereka hadir sebagai pendamping psikologis bagi yang terlemah: lansia, anak-anak, hingga penyandang disabilitas.
‎Heriza meyakini, latihan ini bertujuan untuk mengukir refleks sosial agar kepanikan sirna kala bahaya sesungguhnya datang. “Tagana hadir tidak hanya untuk menolong, melainkan untuk menghadirkan ketenangan,” katanya penuh keyakinan, didampingi Kabid Linjamsos Ricky Januar Alexander. “Dalam krisis, yang paling vital adalah keheningan hati dan empati.”
Lebih dari Sekadar Sandiwara: Sebuah Audit Kesiapan Sejati
Tsunami Drill kali ini bukan hanya rutinitas tahunan, melainkan audit menyeluruh terhadap sistem peringatan dini, akurasi jalur evakuasi, dan sinkronisasi antarlembaga. Heriza mengingatkan bahwa latihan ini tak boleh terhenti di ranah seremonial.
‎“Jika hari ini kita menemukan celah, itu adalah pekerjaan rumah suci. Tujuan simulasi adalah memperbaiki, bukan memamerkan kesiapan yang fana,” ungkapnya tajam, sembari mengapresiasi sinergi yang terbangun kunci tunggal menghadapi amuk alam.
‎Di tengah pelataran TVRI Sumbar, hiruk-pikuk evakuasi berpadu dengan kehangatan asap dapur umum. Dalam kontras yang hidup itu, Padang tidak hanya belajar menghindar dari bencana, tetapi sedang menempa tulang punggung ketangguhan sosialnya.
‎“Kesiapsiagaan bukanlah opsi. Ia adalah kebutuhan. Sebab bencana tak pernah menunggu kita siap,”  Heriza Syafani, Kepala Dinas Sosial Kota Padang.(SRP)